I. RUANG TERBUKA (OPENSPACE)
Sampai
saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni
terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya
kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang
semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana
banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka (Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.
Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan
dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar
belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat
bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu
masyarakat.
Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial,
yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama
satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah
netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada
satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi
akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.
Ruang terbuka adalah
ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam
kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu
tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya. Dilihat dari sifatnya ruang terbuka bisa dibedakan menjadi ruang terbuka privat (memiliki batas waktu tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruang terbuka semi privat (ruang publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan, Ancol) dan ruang terbuka umum
(kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh
masyarakat tanpa batas waktu tertentu, contoh alun-alun, trotoar).
Selain itu ruang terbuka pun bisa diartikan sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman rekreasi, dll).
Ditinjau dari pengertian di atas, ruang terbuka tidak selalu harus memiliki bentuk fisik (baca: lahan dan lokasi) definitif. Dalam bahasa arsitektur, ruang terbuka yang telah berwujud fisik ini sering juga disebut sebagai ruang publik, sebutan yang sekali lagi menekankan aspek aksesibilitasnya.
Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik
harus bersifat responsif, demokratis, dan bermakna. Ruang publik yang
responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan
kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik
itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus
terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan,
unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik
karena ia harus dapat dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai
kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh maupun lansia.
Ruang-ruang terbuka atau ruang-ruang publik ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau dan/atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat)
II. RUANG TERBUKA HIJAU (Green Openspaces)
Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang
dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana
lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau
budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer,
menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.
Sejumlah
areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang
publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang
cenderung berpola “kontainer” (container development) yakni
bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial
ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang
menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang
kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk datang ke
tempat-tempat semacam itu.
Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau
saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau
diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi
publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional
atau daerah dengan standar-standar yang ada.
Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang
seperti pengembangan pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru
kota, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan,
persampahan dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata
luasan RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir.
Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman,
produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat
menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan
pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota
tidak terbukti.
Kebijaksanaan
pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup
adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka
hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman
di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga,
bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang
terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus
mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.
Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) Dan Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTH Binaan).
Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL)
adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal
memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat
terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau
tanaman budi daya.
Kawasan
hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan
lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau,
dsbnya.
Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB)
adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal
memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat
terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan
dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang
hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara
ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru
kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap
flora
III. RUANG TERBUKA BINAAN (Built Openspaces)
Ruang Terbuka Binaan atau Built Openspaces, terdiri dari Ruang Terbuka Binaan Publik (RTBPU) Dan Ruang Terbuka Binaan Privat (RTBPV).
Ruang Terbuka Binaan Publik
(RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk
areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih
bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan
oleh perkerasan.
Ruang
Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar
udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi, dan Ruang Terbuka Binaan
Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas, halaman mesjid,
halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan kantin.
Ruang Terbuka Binaan Privat
(RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk
areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih
bersifat terbatas/ pribadi.
Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil
Bagan Struktur Ruang Terbuka
RUANG TERBUKA
BINAAN PRIVAT
(RTBPV)
|
RUANG TERBUKA
BINAAN PUBLIK
(RTBPU)
|
RUANG TERBUKA
HIJAU LINDUNG
(RTHL)
|
RUANG TERBUKA
HIJAU BINAAN
(RTH BINAAN)
|
RUANG TERBUKA
BINAAN
(RTB)
|
Ruang
Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas,
baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana
penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.
Kawasan
hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan
lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau,
dsbnya.
|
Ruang
Terbuka Binaan Publik (RTBP) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas,
baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana
penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi keseluruhan oleh perkerasan.
Ruang Terbuka Binaan Publik makro antara lain: ruang jalan, kawasan bandar udara, kawasan pelabuhan laut, daerah rekreasi,
dan
Ruang Terbuka Binaan Publik mikro seperti mall di lingkungan terbatas,
halaman mesjid, halaman gereja, plaza di antara gedung perkantoran dan
kantin.
|
RUANG TERBUKA
HIJAU
(RTH)
|
Ruang
Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas,
baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana
penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang
hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara
ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru
kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap
flora
Adapun
kawasan ruang terbuka hijau binaan dimanfaatkan untuk fasilitas umum
rekreasi dan olahraga taman, kebun hortikultura, hutan kota, taman di
lingkungan perumahan, pemakaman umum, jalur hijau umum, jalur hijau
pengamanan sungai, jalur hijau pengamanan kabel tegangan tinggi, dan
termasuk bangunan pelengkap atau kelengkapannya
|
Ruang
Terbuka Binaan Privat (RTBPV) adalah ruang atau kawasan yang lebih
luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana
penggunaannya lebih bersifat terbatas/ pribadi.
Ruang Terbuka Binaan Privat antara lain: halaman rumah tinggal dengan berbagai luasan persil.
|
IV. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA
Pendekatan
ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh
ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas
lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik.
a. Daya Dukung Ekosistem
Perhitungan
kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka
hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga
keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang
terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan
lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam
lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.
b. Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor
- Gas-gas
yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat
menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang
berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2.
Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas
berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi
sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang
dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau
dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap
gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh
Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai
jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk
menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan
kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada
jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.
- Sifat
dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah
kemampuannya melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme
di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2
adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya,
sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan
pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu
mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah
suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka
hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan
berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas
karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di
kawasan perkotaan tertentu.
c. Pengamanan Lingkungan Hidrologis
- Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan
sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi
mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal
penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan
ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada
semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.
- Dengan
semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan
air tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya
peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang
dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan
terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu.
d. Pengendalian Suhu Udara Perkotaan
- Dengan
kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi
dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan.
Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan
kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.
- Tingkat
kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung
pada suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari
persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu
udara. Jika suhu udara yang ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui
indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau
minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu
adalah nilai dari indeks itu sendiri.
e. Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan
- Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi
Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen
penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan
struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan
konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas
yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur panas
rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang
dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh
manusia, maka komponen-komponen dengan struktur panas yang rendah
(vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali
kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan
struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini
dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.
- Keadaan
panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan
indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna
memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas
yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu
korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu
keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum
dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah
dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih
tinggi.
f. Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan
- Fungsi
ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama
difokuskan pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan
perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi.
- Ruang
terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu
mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan
vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya.
Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak,
ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan
oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu
diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah
lingkungan permukiman.
V. PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA
Pendekatan
ini didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh
pengguna, terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat yang
diinginkan adalah berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang
sifatnya membangun kesehatan jasmani dan rohani manusia.
a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran lingkungan
b. Penciptaan susunan ruang vista
c. Penciptaan ruang bagi pendidikan lingkungan.
5.1. Pola Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
Pola
pengembangan ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman
penanganan yang disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup
masyarakat, dan konsistensi kebijakan pemerintah.
Berikut
akan diuraikan beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota
sebagai bahan komparasi untuk memperoleh masukan yang komprehensif
mengenai rumusan bentuk pengaturan yang akan dihasilkan.
5.1.2 Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri
Kesadaran
pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah
berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka
hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh
dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan
Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan.
Selanjutnya
bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan
berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan
sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
Berikutnya
pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat
berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance
yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail
serta menarik. Seni
berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan
kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi
panutan dunia.
Gerakan
baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala
besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang
terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat
kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya
mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan
keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari
hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak.
Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang
dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang, Grove (1983).
Bagaimana
kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa
kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota
dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.
Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km2,
diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota
secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang.
Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun
luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap
mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per
1.000 orang.
Sementara
itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay
– India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki
Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat.
Menurut
Correa, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila
diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di
dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
§ Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
§ Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
§ Daerah tempat pertemuan warga
§ Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat
Penelitian
ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang
terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat
permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi
antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan.
Jakarta
dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai 8.000.000
jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang
Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat.
Untuk menentukan standar RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang berlaku di negara lain.
Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar
No.
|
Kota
|
Populasi (juta jiwa)
|
RTH (m2/jiwa)
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
Singapura
Baltimore
Chicago
San Fransisco
Washington DC
Muenchen
Amsterdam
Geneva
Paris
Stocholm
Kobe
Tokyo
|
2,70
0,93
3,37
0,66
0,76
1,27
0,81
0,17
2,60
1,33
1,40
11,80
|
7,0
27,0
8,80
32,20
45,70
17,60
29,40
15,10
8,40
80,10
8,10
2,10
|
Sumber : Liu Thai Ker, 1994
Dalam
rangka optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota,
contoh kasus pengembangan pembangunan pertamanan yang diterapkan di
Roterdam (A.B Grove dan R.W. Cresswell dalam City Landscape) dapat dikemukakan tabel dibawah ini:
Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam terbagi sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut ini :
Tabel Pembagian Ruang Terbuka Hijau Kota Roterdam
Unit
|
Jenis Ruang Terbuka Hijau
|
Keterangan
|
1
|
Ruang Terbuka Hijau di Lokasi Perumahan (House Block Greenspace)
|
§ Luas = + 50 – 5000m2
§ Jarak Tempuh, max = 250 m
§ Lokasi : di dalam area perumahan
§ Standard : 2,8 – 3,7 m2/ penduduk
|
2
|
Ruang Terbuka Hijau di Bagian Kota (Quarter Greenspace)
|
§ Luas = + 5000m2 (4 Ha)
§ Jarak Tempuh, Max = 400 m
§ Lokasi : radius + 300 – 500 m
§ Standard : 3,6 – 4,5 m2/ penduduk
|
3
|
Ruang Terbuka Hijau Di Wilayah Kota (District Greenspace)
|
§ Luas = + min 8 Ha
§ Jarak tempuh, max = 800 m
§ Lokasi : di wilayah kota
§ Standar : 3,7 – 4,8 m2/ penduduk
§ Ruang Terbuka ini melayani 2 s/d 3 ruang terbuka hijau bagian wilayah kota
|
4
|
Ruang Terbuka Hijau Kota (Town Greenspace)
|
§ Luas = 20 – 200 Ha
§ Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi
§ Standar : 9 – 12,8 m2/ penduduk
|
5.1.3. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri
Hampir
semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk
rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa
kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%,
termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka
perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang
terbuka hijau (yang merupakan
sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.
Kenyataan
ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang
sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang
semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui
merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi
kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku
pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan,
mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota.
Di
Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh
Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi
eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk
ruang terbuka hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim
Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang Peranan
Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa
taman, jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk.
Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika
perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil
proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk.
Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2
atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62
taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas
tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka
setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.
Dibandingkan
dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan
kebutuhan ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih
tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1989. Laporan Dinas Pertamanan DKI 1988 – 1989. Dinas Pertamanan DKI
Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Depdagri, Ruang Terbuka Hijau Kota. Jakarta, 1990
Danisworo,
M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap
perkotaan di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.
Danoedjo,S.
1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka
Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya,
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Hester R.T, 1975 Neighborhood Space. Husting son and Rose.
Jurnal Arsitektur Lansekap Indonesia nomor 04 tahun 1998.
Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.
Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).
Pemerintah DKI Jakarta, Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Tahun 1991. Jakarta, Maret 1992.
Pemerintah Kotamadya DT II Ambon, Aspek Pertamanan Dalam Program Trotoarisasi Kota Ambon. Ambon, 1990.
Pemerintah
Kotamadya DT II Malang,, Sejarah Perencanaan Kota Malang Sejak Jaman
Kolonial Dan Perkembangannya Ditinjau Dari Aspek Pertamanan. Jakarta, 23
Agustus 1990.
Pemerintah
Kotamadya DT II Surabaya, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya. Jakarta, 1990.
Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.
Rustam Hakim, 1995, Peran Arsitektur Lansekap Dalam Wilayah Perkotaan, FALTL Universitas Trisakti, Jakarta.
Rustam Hakim, 1988, Unsur unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bina Aksara, Jakarta.
Rustam Hakim, 1996, Tahapan dan Proses Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, penerbit Bina Aksara Jakarta
Rustam Hakim, 2004, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, penerbit Bina Aksara Jakarta
Dusseldorp, D.B.M.W.Van, 1981. Participation in Planed Development : Influence by Government of Developing Contries of Local Level in Rural Areas.
Susanto A., 1993. Gerakan Penghijauan Sejuta Pohon Menuju Jakarta Berwawasan Lingkungan. Dinas Bina Program Dinas Pertanaman DKI Jaya.
Hester R.T, 1975 Neighborhood Space. Husting son and Rose.
Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher.
Liliawati,
E, Mudjono, 1998, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Harvarindo.
Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).
Robinette, J., 1983. Lanscape Planning For Energy Conservation. Van Nostrand Reinhold Co., New York.
Soemarwoto, O., 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Jambatan Jakarta.
Walter, JK Stephen, 1993, Enterprise Government And The Public, McGrawHill Inc.